Kisah
Sukses
Susi Pudjiastuti lahir 15
Januari 1965 di
Pangandaran, Ciamis
ibu: Hj. Suwuh Lasminah
ayah: H. Ahmad Karlan meninggal
2007
suami: Christian von Strombeck(suami ke 3)
anak: Panji Hilmansyah, Nadine
Pascale, Alvy Xavier
Pangandaran, Ciamis
ibu: Hj. Suwuh Lasminah
ayah: H. Ahmad Karlan meninggal
2007
suami: Christian von Strombeck(suami ke 3)
anak: Panji Hilmansyah, Nadine
Pascale, Alvy Xavier
Susi Pudjiastuti adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Kakek buyutnya yang berasal dari Jawa Tengah, Haji Ireng, berdagang sapi
dan kerbau di Jawa Barat. Haji Ireng lalu menetap diPangandaran. Orangtua Susi adalah generasi ke 5 dan mempunyai banyak tanah, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Ayahnya juga
mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil.Meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, dulu pantai Pangandaran masih sepi pengunjung. Pada akhir pekan atau hari libur pun jarang ada wisatawan yang datang. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai
hingga pukul 9 pagi. Susi bersekolah di SD Negeri 8 Pangandaran tahun 1972-1977 lalu ke SMP Negeri 1 Pangandaran tahun 1978-1980 lalu ke SMA Negeri 1 Yogyakarta. Cuma Tamatan SMP, Kini Punya Belasan Pesawat Carteran Mengaku asli Jawa, ia memang
fasih berbahasa Jawa. Hanya saja karena bertahun-tahun
membangun bisnis di kawasan Pangandaran, ia juga luwes berbahasa Sunda. Perjalanan kemudian, karena sering melayani pelanggan manca negara, bahkan mengemudikan
sendiri pesawat terbangnya, iapun fasih pula berbahasa
Inggris. Tetapi siapa sangka jika wanita berkulit gelap itu
sekadar tamatan SMP dengan ke sehariannya berprofesi sebagai
pedagang ikan laut. Itulah dia Susi Pudjiastuti. Berbekal Rp 750.000,- hasil menjual gelang, kalung, dan cincin miliknya, Susi mulai jadi pengepul ikan pada 1983. Waktu itu ia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Begitu seterusnya.
Dalam tempo setahun, ia berhasil memasuki pasar
Cilacap. Makin majunya usaha, menuntun Susi mulai menyewakan
perahu untuk nelayan mencari ikan dan mobil untuk
pengiriman. Kini ia punya ratusan perahu dan puluhan truk. Ia pun
kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa
pabrik besar di Jakarta. Tiaphari, pukul 15.00, ia meluncur
ke Jakarta untuk setor. Di tengah jalan, ia mampir ke
Cikampek untuk mengambil katak. Setelah urusan
bisnisnya usai, malam hari pun ia langsung balik ke Pangandaran. “Begitulah keseharian saya,” tuturnya. Harga ikan dan udang yang fresh sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, bisa dua kali lipat lebih
mahal. Itu sebabnya ia tak segan-segan membeli pesawat terbang Cessna agar ikan atau udang yang diekspor bisa tiba
kurang dari 24 jam. Ia tahu, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Maka ia
pun membuat pabrik pengolahan ikan tanpa bahan kimia.
Bermetamorfosa Maka pabrik ikannya pun
dibangun mirip mal, dengan investasi lumayan besar. Jangan tanya teori kepadanya, sebab ia pasti akan menggeleng. Jadi ketika ditanya apa resep suksesnya, ia tak mampu menjawab. “Menurut saya ilmu ekonomi itu alamiah. Kalau orang mau
berdagang, ya sediakan barang yang bagus, kasih harga yang
bagus, begitu saja.” Ia memang tidak belajar secara akademis.
”Saya hanya berijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi
apa?” ujarnya merendah. Namun dari jejaknya, terlihat jelas bahwa ia justru mengamalkan berbagai ilmu manajemen yang banyak diteorikan oleh para pakar manajemen. Dianggap gila Pesawat Cessna yang semula hanya dipakai untuk mendukung ekspor hasil lautnya ternyata mampu menggugah semangat wirausahanya untuk masuk ke bisnis baru, pesawat carteran. Tahun ini ia bakal memiliki 14 pesawat kecil yang terbang ke daerah-daerah pelosok, termasuk Aceh dan Papua. Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun memang sangat disesalkan orangtuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk
melayani kebutuhan ekspor. Susi adalah presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation, operator penerbangan Susi Air. Dari 50
pesawat milik wanita kelahiran 15 Januari 1965 itu, antara lain, Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Sebagian besar pesawat itu dioperasikan di luar Jawa
seperti Papua dan Kalimantan. Susi tak mematok harga sewa
pesawat secara khusus, tetapi rata-rata USD 400-USD 500 per
jam. ”Kadang ada yang mau USD 600- USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level service yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti
disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya. ”Kami mulai bersinggungan dengan dunia penerbangan tahun 2000, tapi nggak laku. Kami diketawain oleh orang bank dan dianggap gila. Mau beli
pesawat USD 2 juta, bagaimana hanya dengan ikan dan udang
bisa bayar!” ujarnya menirukan ledekan yang diterimanya.
Baru pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman
USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan.
dan kerbau di Jawa Barat. Haji Ireng lalu menetap diPangandaran. Orangtua Susi adalah generasi ke 5 dan mempunyai banyak tanah, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Ayahnya juga
mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil.Meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, dulu pantai Pangandaran masih sepi pengunjung. Pada akhir pekan atau hari libur pun jarang ada wisatawan yang datang. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai
hingga pukul 9 pagi. Susi bersekolah di SD Negeri 8 Pangandaran tahun 1972-1977 lalu ke SMP Negeri 1 Pangandaran tahun 1978-1980 lalu ke SMA Negeri 1 Yogyakarta. Cuma Tamatan SMP, Kini Punya Belasan Pesawat Carteran Mengaku asli Jawa, ia memang
fasih berbahasa Jawa. Hanya saja karena bertahun-tahun
membangun bisnis di kawasan Pangandaran, ia juga luwes berbahasa Sunda. Perjalanan kemudian, karena sering melayani pelanggan manca negara, bahkan mengemudikan
sendiri pesawat terbangnya, iapun fasih pula berbahasa
Inggris. Tetapi siapa sangka jika wanita berkulit gelap itu
sekadar tamatan SMP dengan ke sehariannya berprofesi sebagai
pedagang ikan laut. Itulah dia Susi Pudjiastuti. Berbekal Rp 750.000,- hasil menjual gelang, kalung, dan cincin miliknya, Susi mulai jadi pengepul ikan pada 1983. Waktu itu ia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Begitu seterusnya.
Dalam tempo setahun, ia berhasil memasuki pasar
Cilacap. Makin majunya usaha, menuntun Susi mulai menyewakan
perahu untuk nelayan mencari ikan dan mobil untuk
pengiriman. Kini ia punya ratusan perahu dan puluhan truk. Ia pun
kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa
pabrik besar di Jakarta. Tiaphari, pukul 15.00, ia meluncur
ke Jakarta untuk setor. Di tengah jalan, ia mampir ke
Cikampek untuk mengambil katak. Setelah urusan
bisnisnya usai, malam hari pun ia langsung balik ke Pangandaran. “Begitulah keseharian saya,” tuturnya. Harga ikan dan udang yang fresh sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, bisa dua kali lipat lebih
mahal. Itu sebabnya ia tak segan-segan membeli pesawat terbang Cessna agar ikan atau udang yang diekspor bisa tiba
kurang dari 24 jam. Ia tahu, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Maka ia
pun membuat pabrik pengolahan ikan tanpa bahan kimia.
Bermetamorfosa Maka pabrik ikannya pun
dibangun mirip mal, dengan investasi lumayan besar. Jangan tanya teori kepadanya, sebab ia pasti akan menggeleng. Jadi ketika ditanya apa resep suksesnya, ia tak mampu menjawab. “Menurut saya ilmu ekonomi itu alamiah. Kalau orang mau
berdagang, ya sediakan barang yang bagus, kasih harga yang
bagus, begitu saja.” Ia memang tidak belajar secara akademis.
”Saya hanya berijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi
apa?” ujarnya merendah. Namun dari jejaknya, terlihat jelas bahwa ia justru mengamalkan berbagai ilmu manajemen yang banyak diteorikan oleh para pakar manajemen. Dianggap gila Pesawat Cessna yang semula hanya dipakai untuk mendukung ekspor hasil lautnya ternyata mampu menggugah semangat wirausahanya untuk masuk ke bisnis baru, pesawat carteran. Tahun ini ia bakal memiliki 14 pesawat kecil yang terbang ke daerah-daerah pelosok, termasuk Aceh dan Papua. Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun memang sangat disesalkan orangtuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk
melayani kebutuhan ekspor. Susi adalah presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation, operator penerbangan Susi Air. Dari 50
pesawat milik wanita kelahiran 15 Januari 1965 itu, antara lain, Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Sebagian besar pesawat itu dioperasikan di luar Jawa
seperti Papua dan Kalimantan. Susi tak mematok harga sewa
pesawat secara khusus, tetapi rata-rata USD 400-USD 500 per
jam. ”Kadang ada yang mau USD 600- USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level service yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti
disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya. ”Kami mulai bersinggungan dengan dunia penerbangan tahun 2000, tapi nggak laku. Kami diketawain oleh orang bank dan dianggap gila. Mau beli
pesawat USD 2 juta, bagaimana hanya dengan ikan dan udang
bisa bayar!” ujarnya menirukan ledekan yang diterimanya.
Baru pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman
USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan.
Perkembangan bisnis sewa
pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang
tinggal 20 persennya. ”Sebentar lagi juga lunas!” sambungnya optimis. Sedangkan
utang di BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua utang
dari perbankan, lebih dari Rp 2 triliun. Urusan mengangsur
tak begitu dipusingkan, karena Susi tak hanya menebar jaring
di laut, mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar
jaring di laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan.
”Perikanan kami sempat hampir limbung akibat tsunami
Pengandaran 2005. Hampir dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya. Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung- Pangandaran, dan Jakarta- Cilacap, diakuinya masih merugi. Sebab, sering terjadi
hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata
Rp 500.000,-, tidak cukup untuk membeli bahan bakar.
”Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,” ujarnya. Susi memang mengutamakan bisnis ikan segarnya. Dengan pesawat, tinggal landas, bisa mengangkut 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta.
”Bisnis ikan serta lobster tetap kami utamakan, dan bisnis penerbangan terus kami kembangkan!” ungkapnya.
dari perbankan, lebih dari Rp 2 triliun. Urusan mengangsur
tak begitu dipusingkan, karena Susi tak hanya menebar jaring
di laut, mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar
jaring di laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan.
”Perikanan kami sempat hampir limbung akibat tsunami
Pengandaran 2005. Hampir dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya. Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung- Pangandaran, dan Jakarta- Cilacap, diakuinya masih merugi. Sebab, sering terjadi
hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata
Rp 500.000,-, tidak cukup untuk membeli bahan bakar.
”Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,” ujarnya. Susi memang mengutamakan bisnis ikan segarnya. Dengan pesawat, tinggal landas, bisa mengangkut 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta.
”Bisnis ikan serta lobster tetap kami utamakan, dan bisnis penerbangan terus kami kembangkan!” ungkapnya.
0 komentar:
Posting Komentar