Kamis, 23 April 2015

hukum perikatan


nama : Efenni Prima Canceria
npm : 22213778
kelas : 2eb18

I .PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
            Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
            Adapun yang dimaksudkan dengan “Perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1.    Menyerahkan suatu barang
2.    Melakukan suatu perbuatan
3.    Tidak melakukan suatu perbuatan

II.DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a.    Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan
b.    Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah)
3.  Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetai terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).

III. ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri.seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan.


1.    Asas Kebebasan Berkontrak
            Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
            Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat pernjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2.    Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal
1)    Kata sepakat antara pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan, dan kekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/ penipuan.
2)    Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menutrut hukum, yaitu talha dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3)    Menganai suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4)    Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi dari perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dengan kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif., yakni jika salah satu pihak tidak dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan (cancelin). Dalam Pasal 1454 KUH Perdata disebutkan jangka waktu permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga lima tahun, sedangkan dua syarat yang lain dinamakan syarat-syarat objektif, yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada (null and void).
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-sayarat sahnya suatu perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjian, yaitu bagian inti dan bagian bukan inti.
a.    Bagian inti (ensensial)
Bagian ini (esensial) adalah abgian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta.
b.    Bagian bukan inti
Bagian bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
a)    Naturalia adalah sifat yang dibawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
b)    Aksidentialia adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak
Dengan demikian, akibat dari terjadinya perjanjian maka undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, semua perseyujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini sesuai dengan asas kepribadian bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, kecuali kalau perjanjian itu untuk kepentingan pihak ketiga (barden beding) yang diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.
Dengan kata lain, persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu. Maksudnya, persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (together trouwlin good faith).

IV .WANPRESTASI
            Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidera-janji’. Atau juga ia “melanggar perjanjian’, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a)    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b)    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c)    Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d)    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
Pertama    : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
Kedua        : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga        : peralihan resiko.
Keempat   : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di muka hakim.
            Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa sesorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.
            Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian.
            Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
            Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis, sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat.
            Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
            Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda “kosten, schaden en interessen”).
            Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa Belanda “winstderving”), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
            Code Civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu “dommages et interest”. “Domages” meliputi apa yang kita namakan “ biaya dan rugi” sebagaimana dibicarakan diatas, sedangkan “interest” adalah sama dengan “bunga” dalam arti kehilangan keuntungan.Persoalan ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1247 dan pasal 1248.
            Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai “bunga moratoir”. Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur, apabila pembayarannya itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir” berasal dari perkataan latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian.hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1250, yang dimuat dalam lembaran negara tahun 1848 NO.22 bunga tersebut ditetapkan 6 (enam) proses setahun..
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini, dalam kitab undang-undang hukum perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266 yang mengatur “perikatan bersyarat”.
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat batal”. Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut : “syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 kitab undang-undang hukum perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1.    Pemenuhan perjanjian
2.    Pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
3.    Ganti-rugi saja
4.    Pembatalan perjanjian
5.    Pembatalan disertai ganti-rugi

 V.CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
            Pasal 1381 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :

1.    Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualan pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1332 kitab undang-undang hukum perdata.
            Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagaian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.Mengenai tempat pembayaran, pasal 1393 kitab undang-undang hukum perdata dan ketentuan mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur pada pasal 1395.

2.    Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan.  pergilah ia kerumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaris/juru sita akan mempersilhkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat notaris/juru sita diatas surat proses verbal tersebut.dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitur) di muka pengadilan negri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, dilimpahkan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negri dengan demikian hapuslah hutang-pihutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepanitera pengadilan negri atas tanggungannya atau resiko si berpiutang. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.

3.    Pembaharuan Hutang atau Inovasi
Menurut pasal 1413 kitab undang-undang hukum perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.    Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.    Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.    Apabila, sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikkan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.

4.    Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-pihutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 kitab undang-undang hukum perdata.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali :
1.    Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
2.    Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3.    Terdapat sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita(alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 kitab undang-undang hukum perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalm hal-hal yang disebutkan diatas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum.maka dari itu pasal tersebut diatas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu.

5.    Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) bekumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.

6.    Pembebasan Hutang
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghedaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan hutang-piutang – hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

7.    Musnahnya barang Yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannta asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkan. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaanya dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.

8.    Kebatalan / Pembatalan
Meskipun di sini disebutkan kebatalan atau pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari kitab undang-undang hukum perdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuanya disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.Yang diatur oleh pasal 1446.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.

9.    Berlakunya Suatu Syarat-Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

10.   Lewatnya Waktu
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ats syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hokum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukkan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggalah pada suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim.


REFERENSI : buku diktat Universitas Gunadarma










nama : Efenni Prima Canceria
npm : 22213778
kelas : 2eb18

I .PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
            Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
            Adapun yang dimaksudkan dengan “Perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1.    Menyerahkan suatu barang
2.    Melakukan suatu perbuatan
3.    Tidak melakukan suatu perbuatan

II.DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a.    Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan
b.    Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah)
3.  Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetai terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).

III. ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri.seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan.


1.    Asas Kebebasan Berkontrak
            Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
            Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat pernjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2.    Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal
1)    Kata sepakat antara pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan, dan kekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/ penipuan.
2)    Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menutrut hukum, yaitu talha dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3)    Menganai suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4)    Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi dari perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dengan kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif., yakni jika salah satu pihak tidak dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan (cancelin). Dalam Pasal 1454 KUH Perdata disebutkan jangka waktu permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga lima tahun, sedangkan dua syarat yang lain dinamakan syarat-syarat objektif, yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada (null and void).
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-sayarat sahnya suatu perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjian, yaitu bagian inti dan bagian bukan inti.
a.    Bagian inti (ensensial)
Bagian ini (esensial) adalah abgian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta.
b.    Bagian bukan inti
Bagian bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
a)    Naturalia adalah sifat yang dibawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
b)    Aksidentialia adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak
Dengan demikian, akibat dari terjadinya perjanjian maka undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, semua perseyujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini sesuai dengan asas kepribadian bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, kecuali kalau perjanjian itu untuk kepentingan pihak ketiga (barden beding) yang diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.
Dengan kata lain, persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu. Maksudnya, persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (together trouwlin good faith).

IV .WANPRESTASI
            Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidera-janji’. Atau juga ia “melanggar perjanjian’, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a)    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b)    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c)    Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d)    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
Pertama    : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
Kedua        : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga        : peralihan resiko.
Keempat   : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di muka hakim.
            Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa sesorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.
            Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian.
            Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
            Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis, sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat.
            Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
            Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda “kosten, schaden en interessen”).
            Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa Belanda “winstderving”), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
            Code Civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu “dommages et interest”. “Domages” meliputi apa yang kita namakan “ biaya dan rugi” sebagaimana dibicarakan diatas, sedangkan “interest” adalah sama dengan “bunga” dalam arti kehilangan keuntungan.Persoalan ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1247 dan pasal 1248.
            Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai “bunga moratoir”. Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur, apabila pembayarannya itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir” berasal dari perkataan latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian.hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1250, yang dimuat dalam lembaran negara tahun 1848 NO.22 bunga tersebut ditetapkan 6 (enam) proses setahun..
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini, dalam kitab undang-undang hukum perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266 yang mengatur “perikatan bersyarat”.
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat batal”. Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut : “syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 kitab undang-undang hukum perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1.    Pemenuhan perjanjian
2.    Pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
3.    Ganti-rugi saja
4.    Pembatalan perjanjian
5.    Pembatalan disertai ganti-rugi

 V.CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
            Pasal 1381 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :

1.    Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualan pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1332 kitab undang-undang hukum perdata.
            Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagaian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.Mengenai tempat pembayaran, pasal 1393 kitab undang-undang hukum perdata dan ketentuan mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur pada pasal 1395.

2.    Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan.  pergilah ia kerumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaris/juru sita akan mempersilhkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat notaris/juru sita diatas surat proses verbal tersebut.dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitur) di muka pengadilan negri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, dilimpahkan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negri dengan demikian hapuslah hutang-pihutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepanitera pengadilan negri atas tanggungannya atau resiko si berpiutang. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.

3.    Pembaharuan Hutang atau Inovasi
Menurut pasal 1413 kitab undang-undang hukum perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.    Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.    Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.    Apabila, sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikkan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.

4.    Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-pihutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 kitab undang-undang hukum perdata.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali :
1.    Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
2.    Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3.    Terdapat sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita(alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 kitab undang-undang hukum perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalm hal-hal yang disebutkan diatas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum.maka dari itu pasal tersebut diatas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu.

5.    Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) bekumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.

6.    Pembebasan Hutang
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghedaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan hutang-piutang – hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

7.    Musnahnya barang Yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannta asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkan. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaanya dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.

8.    Kebatalan / Pembatalan
Meskipun di sini disebutkan kebatalan atau pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari kitab undang-undang hukum perdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuanya disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.Yang diatur oleh pasal 1446.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.

9.    Berlakunya Suatu Syarat-Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

10.   Lewatnya Waktu
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ats syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hokum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukkan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggalah pada suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim.


REFERENSI : buku diktat Universitas Gunadarma









 
Efenni Prima Canceria Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template