nama : Efenni Prima Canceria
npm : 22213778
kelas : 2eb18
I .PERIHAL
PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan “Perikatan” (verbintenis)
mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam
perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber
pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul
dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan
“Perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari
yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
“debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang
menurut undang-undang dapat berupa :
1.
Menyerahkan
suatu barang
2.
Melakukan
suatu perbuatan
3.
Tidak
melakukan suatu perbuatan
II.DASAR
HUKUM PERIKATAN
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1.
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.
Perikatan
yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi
menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan
terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a.
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan
b.
Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi
karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum
(tidak sah)
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetai
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
III.
ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang
tidak boleh menjadi hakim sendiri.seorang berpiutang yang menghendaki
pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi
kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan.
1.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di
dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam
membuat pernjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari
perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan
perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2.
Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir
pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap untuk
membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang
halal
1)
Kata
sepakat antara pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat
unsur-unsur penipuan, paksaan, dan kekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata
dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/ penipuan.
2)
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menutrut hukum, yaitu talha dewasa
(berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3)
Menganai
suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya
apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah dan harga)
atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4)
Suatu
sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi
dari perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dengan
kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif., yakni jika salah satu pihak tidak
dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan
(cancelin). Dalam Pasal 1454 KUH Perdata disebutkan jangka waktu permintaan
pembatalan perjanjian dibatasi hingga lima tahun, sedangkan dua syarat yang
lain dinamakan syarat-syarat objektif,
yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak
pernah ada (null and void).
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-sayarat sahnya
suatu perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjian,
yaitu bagian inti dan bagian bukan inti.
a.
Bagian
inti (ensensial)
Bagian ini (esensial) adalah abgian yang sifatnya harus
ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menentukan atau menyebabkan
perjanjian tercipta.
b.
Bagian
bukan inti
Bagian
bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
a)
Naturalia
adalah sifat yang dibawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat
pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
b)
Aksidentialia
adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para
pihak
Dengan demikian, akibat dari terjadinya perjanjian maka
undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai
undang-undang. Oleh karena itu, semua perseyujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini sesuai
dengan asas kepribadian bahwa
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, kecuali kalau
perjanjian itu untuk kepentingan pihak ketiga (barden beding) yang diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.
Dengan kata lain, persetujuan-persetujuan tidak dapat
ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu.
Maksudnya, persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (together trouwlin good faith).
IV
.WANPRESTASI
Apabila siberhutang (debitur) tidak
melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan
“wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidera-janji’. Atau juga
ia “melanggar perjanjian’, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda,
yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi
seorang debitur dapat berupa empat macam :
a)
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b)
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c)
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d)
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau
pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau
hukuman.hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi
ada empat macam, yaitu :
Pertama : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan
singkat dinamakan ganti-rugi.
Kedua :
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga : peralihan resiko.
Keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di muka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai
akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah
siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal
olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk
mengatakan bahwa sesorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak
diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan
barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus
membayar uang harga barang tadi.
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk
menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam
perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu
harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang bagaimana caranya
memperingatkan seorang debitur agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu,
dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang berbunyi : “si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Yang dimaksudkan dengan surat
perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang
jurusita pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang sebenarnya oleh
undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis, sekarang sudah
lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh
dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang
supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat.
Apabila seorang debitur sudah
diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap
tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan
terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan
perjanjian dan peralihan resiko.
Ganti-rugi sering diperinci dalam
tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda “kosten, schaden en
interessen”).
Yang dimaksud dengan biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang
dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan
(bahasa Belanda “winstderving”), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditur.
Code Civil (dalam bahasa Perancis)
memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu “dommages et interest”.
“Domages” meliputi apa yang kita namakan “ biaya dan rugi” sebagaimana
dibicarakan diatas, sedangkan “interest” adalah sama dengan “bunga” dalam arti
kehilangan keuntungan.Persoalan ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1247 dan pasal 1248.
Suatu pembatasan lagi dalam
pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai “bunga moratoir”.
Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita
oleh kreditur, apabila pembayarannya itu terlambat, adalah berupa interest,
rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir” berasal dari perkataan latin “mora”
yang berarti kealpaan atau kelalaian.hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pasal 1250, yang
dimuat dalam lembaran negara tahun 1848 NO.22 bunga tersebut ditetapkan 6
(enam) proses setahun..
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus
dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi
dari pihak debitur ini, dalam kitab undang-undang hukum perdata menemukan pengaturannya
dalam pasal 1266 yang mengatur “perikatan bersyarat”.
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat
batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat
batal”. Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut : “syarat batal
dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 kitab undang-undang hukum
perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi
obyek perjanjian.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi
keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan
hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara
(pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan
kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat
memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1.
Pemenuhan
perjanjian
2.
Pemenuhan
perjanjian disertai ganti-rugi
3.
Ganti-rugi
saja
4.
Pembatalan
perjanjian
5.
Pembatalan
disertai ganti-rugi
V.CARA-CARA
HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 kitab undang-undang hukum
perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
1.
Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap
pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak
saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualan pun
dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.
Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga
seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal
1332 kitab undang-undang hukum perdata.
Si debitur tidak boleh memaksa
krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagaian,
meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.Mengenai tempat pembayaran, pasal 1393
kitab undang-undang hukum perdata dan ketentuan mengenai biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur pada
pasal 1395.
2.
Penawaran
Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang
harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya
sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara
resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. pergilah ia kerumah atau tempat tinggal
kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang
untuk membayar hutangnya debitur tersebut. Notaris atau juru sita tadi sudah
menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau
uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila
kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaris/juru sita
akan mempersilhkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan
kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat
notaris/juru sita diatas surat proses verbal tersebut.dengan demikian
terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak
pembayaran.
Langkah yang berikutnya ialah : si
berhutang (debitur) di muka pengadilan negri dengan permohonan kepada
pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang
akan dibayarkan itu, dilimpahkan
atau dititipkan kepada panitera pengadilan negri dengan demikian hapuslah
hutang-pihutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di
kepanitera pengadilan negri atas tanggungannya atau resiko si berpiutang.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai
dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.
Pembaharuan
Hutang atau Inovasi
Menurut pasal 1413
kitab undang-undang hukum perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu
pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.
Apabila
seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan
menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan
karenanya.
b.
Apabila
seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang
oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.
Apabila,
sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikkan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari
perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a),
dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian,
sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena
yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam
perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan
subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi
dinamakan subyektif aktif.
4.
Perjumpaan
Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan
hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-pihutang secara
bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika
dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu
perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah
diterangkan oleh pasal 1424 kitab undang-undang hukum perdata.
Perjumpaan terjadi dengan tidak
dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah
dilahirkan, terkecuali :
1.
Apabila
dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum
dirampas dari pemiliknya.
2.
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3.
Terdapat
sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita(alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 kitab
undang-undang hukum perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan
perjumpaan dalm hal-hal yang disebutkan diatas, maka itu akan berarti mengesahkan
seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum.maka dari itu pasal
tersebut diatas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan
itu.
5.
Percampuran
Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang
berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) bekumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang
piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal
percampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
6.
Pembebasan
Hutang
Teranglah, bahwa apabila si
berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghedaki lagi prestasi dari si
berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan – yaitu hubungan hutang-piutang – hapus, perikatan ini hapus karena
pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan.
7.
Musnahnya
barang Yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi
obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannta asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkan. Bahkan juga meskipun debitur itu
lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari
perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan
oleh suatu kejadian diluar kekuasaanya dan bahwa barang tersebut toh juga akan
menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
8.
Kebatalan
/ Pembatalan
Meskipun di sini disebutkan kebatalan
atau pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau
kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari kitab
undang-undang hukum perdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuanya disitu
kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu
yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang
sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan
barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.Yang diatur
oleh pasal 1446.
Meminta pembatalan perjanjian yang
kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama,
secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua,
secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi
perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
9. Berlakunya
Suatu Syarat-Batal
Perikatan
bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau
secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan
berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan
semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum
perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat
lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal
1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu
mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10. Lewatnya Waktu
Menurut pasal
1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat
waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ats syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu
barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan
dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”.
Menurut pasal
1967 maka segala tuntutan hokum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang
bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,
sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukkan terhadapnya
sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya
waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggalah pada suatu
“perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut
dimuka hakim.
REFERENSI : buku diktat Universitas Gunadarma
nama : Efenni Prima Canceria
npm : 22213778
kelas : 2eb18
I .PERIHAL
PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan “Perikatan” (verbintenis)
mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam
perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber
pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul
dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan
“Perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari
yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
“debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang
menurut undang-undang dapat berupa :
1.
Menyerahkan
suatu barang
2.
Melakukan
suatu perbuatan
3.
Tidak
melakukan suatu perbuatan
II.DASAR
HUKUM PERIKATAN
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1.
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.
Perikatan
yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi
menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan
terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a.
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan
b.
Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi
karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum
(tidak sah)
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetai
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
III.
ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang
tidak boleh menjadi hakim sendiri.seorang berpiutang yang menghendaki
pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi
kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan.
1.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di
dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam
membuat pernjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari
perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan
perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2.
Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir
pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap untuk
membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang
halal
1)
Kata
sepakat antara pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat
unsur-unsur penipuan, paksaan, dan kekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata
dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/ penipuan.
2)
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menutrut hukum, yaitu talha dewasa
(berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3)
Menganai
suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya
apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah dan harga)
atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4)
Suatu
sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi
dari perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dengan
kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif., yakni jika salah satu pihak tidak
dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan
(cancelin). Dalam Pasal 1454 KUH Perdata disebutkan jangka waktu permintaan
pembatalan perjanjian dibatasi hingga lima tahun, sedangkan dua syarat yang
lain dinamakan syarat-syarat objektif,
yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak
pernah ada (null and void).
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-sayarat sahnya
suatu perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjian,
yaitu bagian inti dan bagian bukan inti.
a.
Bagian
inti (ensensial)
Bagian ini (esensial) adalah abgian yang sifatnya harus
ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menentukan atau menyebabkan
perjanjian tercipta.
b.
Bagian
bukan inti
Bagian
bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
a)
Naturalia
adalah sifat yang dibawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat
pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
b)
Aksidentialia
adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para
pihak
Dengan demikian, akibat dari terjadinya perjanjian maka
undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai
undang-undang. Oleh karena itu, semua perseyujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini sesuai
dengan asas kepribadian bahwa
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, kecuali kalau
perjanjian itu untuk kepentingan pihak ketiga (barden beding) yang diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.
Dengan kata lain, persetujuan-persetujuan tidak dapat
ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu.
Maksudnya, persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (together trouwlin good faith).
IV
.WANPRESTASI
Apabila siberhutang (debitur) tidak
melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan
“wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidera-janji’. Atau juga
ia “melanggar perjanjian’, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda,
yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi
seorang debitur dapat berupa empat macam :
a)
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b)
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c)
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d)
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau
pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau
hukuman.hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi
ada empat macam, yaitu :
Pertama : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan
singkat dinamakan ganti-rugi.
Kedua :
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga : peralihan resiko.
Keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di muka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai
akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah
siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal
olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk
mengatakan bahwa sesorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak
diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan
barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus
membayar uang harga barang tadi.
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk
menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam
perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu
harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang bagaimana caranya
memperingatkan seorang debitur agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu,
dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang berbunyi : “si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Yang dimaksudkan dengan surat
perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang
jurusita pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang sebenarnya oleh
undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis, sekarang sudah
lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh
dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang
supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat.
Apabila seorang debitur sudah
diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap
tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan
terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan
perjanjian dan peralihan resiko.
Ganti-rugi sering diperinci dalam
tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda “kosten, schaden en
interessen”).
Yang dimaksud dengan biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang
dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan
(bahasa Belanda “winstderving”), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditur.
Code Civil (dalam bahasa Perancis)
memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu “dommages et interest”.
“Domages” meliputi apa yang kita namakan “ biaya dan rugi” sebagaimana
dibicarakan diatas, sedangkan “interest” adalah sama dengan “bunga” dalam arti
kehilangan keuntungan.Persoalan ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1247 dan pasal 1248.
Suatu pembatasan lagi dalam
pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai “bunga moratoir”.
Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita
oleh kreditur, apabila pembayarannya itu terlambat, adalah berupa interest,
rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir” berasal dari perkataan latin “mora”
yang berarti kealpaan atau kelalaian.hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pasal 1250, yang
dimuat dalam lembaran negara tahun 1848 NO.22 bunga tersebut ditetapkan 6
(enam) proses setahun..
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus
dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi
dari pihak debitur ini, dalam kitab undang-undang hukum perdata menemukan pengaturannya
dalam pasal 1266 yang mengatur “perikatan bersyarat”.
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat
batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat
batal”. Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut : “syarat batal
dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 kitab undang-undang hukum
perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi
obyek perjanjian.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi
keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan
hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara
(pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan
kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat
memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1.
Pemenuhan
perjanjian
2.
Pemenuhan
perjanjian disertai ganti-rugi
3.
Ganti-rugi
saja
4.
Pembatalan
perjanjian
5.
Pembatalan
disertai ganti-rugi
V.CARA-CARA
HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 kitab undang-undang hukum
perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
1.
Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap
pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak
saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualan pun
dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.
Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga
seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal
1332 kitab undang-undang hukum perdata.
Si debitur tidak boleh memaksa
krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagaian,
meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.Mengenai tempat pembayaran, pasal 1393
kitab undang-undang hukum perdata dan ketentuan mengenai biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur pada
pasal 1395.
2.
Penawaran
Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang
harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya
sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara
resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. pergilah ia kerumah atau tempat tinggal
kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang
untuk membayar hutangnya debitur tersebut. Notaris atau juru sita tadi sudah
menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau
uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila
kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaris/juru sita
akan mempersilhkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan
kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat
notaris/juru sita diatas surat proses verbal tersebut.dengan demikian
terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak
pembayaran.
Langkah yang berikutnya ialah : si
berhutang (debitur) di muka pengadilan negri dengan permohonan kepada
pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang
akan dibayarkan itu, dilimpahkan
atau dititipkan kepada panitera pengadilan negri dengan demikian hapuslah
hutang-pihutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di
kepanitera pengadilan negri atas tanggungannya atau resiko si berpiutang.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai
dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.
Pembaharuan
Hutang atau Inovasi
Menurut pasal 1413
kitab undang-undang hukum perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu
pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.
Apabila
seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan
menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan
karenanya.
b.
Apabila
seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang
oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.
Apabila,
sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikkan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari
perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a),
dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian,
sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena
yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam
perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan
subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi
dinamakan subyektif aktif.
4.
Perjumpaan
Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan
hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-pihutang secara
bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika
dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu
perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah
diterangkan oleh pasal 1424 kitab undang-undang hukum perdata.
Perjumpaan terjadi dengan tidak
dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah
dilahirkan, terkecuali :
1.
Apabila
dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum
dirampas dari pemiliknya.
2.
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3.
Terdapat
sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita(alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 kitab
undang-undang hukum perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan
perjumpaan dalm hal-hal yang disebutkan diatas, maka itu akan berarti mengesahkan
seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum.maka dari itu pasal
tersebut diatas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan
itu.
5.
Percampuran
Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang
berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) bekumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang
piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal
percampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
6.
Pembebasan
Hutang
Teranglah, bahwa apabila si
berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghedaki lagi prestasi dari si
berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan – yaitu hubungan hutang-piutang – hapus, perikatan ini hapus karena
pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan.
7.
Musnahnya
barang Yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi
obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannta asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkan. Bahkan juga meskipun debitur itu
lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari
perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan
oleh suatu kejadian diluar kekuasaanya dan bahwa barang tersebut toh juga akan
menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
8.
Kebatalan
/ Pembatalan
Meskipun di sini disebutkan kebatalan
atau pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau
kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari kitab
undang-undang hukum perdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuanya disitu
kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu
yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang
sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan
barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.Yang diatur
oleh pasal 1446.
Meminta pembatalan perjanjian yang
kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama,
secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua,
secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi
perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
9. Berlakunya
Suatu Syarat-Batal
Perikatan
bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau
secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan
berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan
semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum
perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat
lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal
1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu
mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10. Lewatnya Waktu
Menurut pasal
1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat
waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ats syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu
barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan
dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”.
Menurut pasal
1967 maka segala tuntutan hokum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang
bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,
sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukkan terhadapnya
sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya
waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggalah pada suatu
“perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut
dimuka hakim.
REFERENSI : buku diktat Universitas Gunadarma